Friday 4 September 2015

PENGERTIAN TERJEMAHAN AL-QUR'AN



  Pengertian Terjemah
Lafalz terjemah di dalam kepustakaan bahasa Arab, menunjukan arti dari empat makna berikut:
a.    Menyampaikan suatu kalam kepada seseorang yang belum mengetahuinya.
b.    Menafsirkan suatu kalam menurut bahasanya.
c.     Menafsirkan suatu bahasa dengan bahasa yang lainnya.
d.    Memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa ke bahasa yang lainya.[1])
Secara harifah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa, atau alih bahasa dari satu bahasa ke dalam bahasa lainnya.[2]) Terjemah, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah translation, dalam literature bahasa Arab dkenal dengan tarjamahan.
Secara etimologis, terjemah berarti menerangkan atau menjelaskan. Menurut Muhammad Husayn al-Dzahabi, salah seorang pakar ‘ulama al-Quran dari al-Azhar university, Mesir, kata tarjamah lazim digunakan untuk dua macam pengertian. Pertama: mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan makna dari bahasa asal yang diterjemahkan. Kedua: menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung didalamnya, dengan menggunakan bahasa yang lain.[3]) Dari situlah kata terjemah dapat diformulasikan bahwa terjemah pada dasarnya ialah menyalin atau mengalihbahasakan serangkaian pembicaraan dari satu bahasa kebahasa yang lainnya, dengan maksud supaya inti pembicaraan bahasa asal yang diterjemahkan bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak mampu memahami langsung bahasa asal yang diterjemah. Sebagai contoh, terjemahan buku-buku dari bahasa asing, katakanlah buku bahasa Arab atau bahasa Inggris, ke dalam bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya, buku-buku dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa Arab atau pun juga ke dalam bahasa lainnya.
Selain yang telah dikemukakan diatas, kata terjemah dalam bahasa Arab juga umum diartikan dengan biografi (riwayat hidup) seseorang, semisal dalam ungkapan tarjamah al-Imam al-Bukhari atau tarjamah Imam-Muslim yang masing-masing berarti biografi Imam Bukhari dan Imam Muslim. Demikian dengan biografi-biografi tokoh lain, semisal tarjamah Imam Abu Hanifah dan lain sebagainya.
Orang yang menerjemahkan sesuatu, termasuk al-Quran dalam bahasa Indonesia disebut dengan Penerjemah, juru terjemah atau juru bahasa, dalam bahasa Inggris disebut transliter sedangkan dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan mutarjim, tarjuman atau turjuman diantaranya dalam ungkapan: “ Ibnu ;Abbas tarjuman al-Quran, maksudnya Ibnu ‘Abbas juru bahasa al-Quran.

B.   Macam-Macam Terjemah
Sesuai dengan pengertiannya, terjemah lazim dibedakan ke dalam dua macam, yaitu terjemah secara harfiyah dan terjemah secara tafsiriyah.terjemah harfiyah yang juga umum disebut dengan terjemah lafzhiyah ialah terjemah yang dilakukan dengan apa adanya, tergantung dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
Muhammad Husayn al-Dzahabi, yang namanya pernah disebut sebelum ini, membedakan terjemah secara harfiyah ini ke dalam dua model yaitu: terjemah harfiyah bi al-mitsl, ialah terjemahan yang dilakukan dengan apa adanya, terikat dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan dan terjemah harfiyah bighair al-mitsl ialah terjemahan yang pada dasarnya sama dengan terjemah harfiyah bi al-mitsl, hanya saja sedikit lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
Adapun yang dimaksud dengan terjemah tafsiriyah yang lazim juga disebut dengan terjemah maknawiyah, ialah terjemahan yang dilakukan mutarjim dengan lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan tafsiriyah tidak terikat dengan susunan dan stuktur gaya bahasa maka dapatlah dikatakan bahwa jika terjema harfiyah bagitu identik dengan terjemah leterlek atau terjemah lurus dalam bahasa Indonesia, yakni terjemahan yang dilakukan dengan cara menyalin kata demi kata atau word for word tranlation, maka terjemah tafsiriyah sama persisi dengan istilah terjemahan bebas.
Dan patut diingatkan bahwa terjemah tafsiriyah tetap berbeda dengan tafsir. Atau dalam kalimat lain, terjemah tafsiriyah bukanlah tafsir, letak badanya menurut Muhammad Husayn al-Dzahabi:
Pertama, terletak pada kedua bahasa yang digunakan. Bahasa tafsir dimungkinkan sama dengan bahasa asli, katakanlah al-Quran yang ditafsirkan, sedangkan terjemah tafsiriyah pasti menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa asli yang diterjemahkan.
Kedua, dalam tafsir, pembaca kitab/buku yang ditafsirkan dimungkinkan melacak buku (teks) aslinya manakala ada keraguan di dalamnya. Berbeda dengan terjemah tafsiriyah yang tidak mudah untuk mengecek aslinya mana kala ada keraguan dan kesalahan yang diterjemahkan oleh pembaca.
Berbeda lagi dengan terjemah harfiyah yang terikat dengan struktur dan susunan bahasa asal yang diterjemahkan, yang karenanya maka terjemah harfiyah/ lafziyah/ leterlek/ lurus itu berlaku, maka terjemah tafsiriyah/ maknawiyah/ bebas terasa luwes atau elastis. Kerigidan terjemah harfiyah dan keluwesan terjemah tafsiriyah akan semakin terasa manakala digunakan untuk menerjemahkan al-Quran. Sebagi ilustrasinya perhatikan Q.S. al-Israa’ ayat: 29, berikut,
Ÿwur ö@yèøgrB x8ytƒ »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã Ÿwur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C ÇËÒÈ
Jika ayat tersebut diterjemahkan secara harfiyah, maka pengertiannya berarti Allah melarang seseorang membelenggu atau mengikat tangannya di atas pundaknya. Padahal, yang dimaksud oleh ayat ini adalah larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta disamping melarang bersikap boros.
Seiring dengan kekakuan terjemahan harfiyah, maka tidaklah sulit untuk menerima sikap musaffir semisal, Muhammad Husayn al-Dzahabi, yang menyatakan mustahil bisa menerjemahkan al-Quran secara harfiyah. Lebih-lebih jika dilakukan dengan terjemahan harfiyah bi al-mitsl. Alasanya, paling sedikit disebabkan oleh dua hal yaitu: pertama, tujuan penurunan al-Quran ke muka bumi ini untuk dijadikan bukti kebenaran bagi kenabian Muhammad saw. yang sekaligus sebagai mukjizatnya yang terbesar. Sedangkan terjemahan al-Quran, lebih-lebih terjemahan harfiyah, tidaklah mungkin dapat menerangkan seluruh isi kandungan al-Quran sebagaimana yang dikehendaki oleh bahasa al-Quran itu sendiri. Dan kedua, al-Quran diturunkan sebagai kitab hidayah (buku penunjuk) yang sarat dengan rambu-rambu petunjuk bagi ummat insani di dunia dan akhirat. Mengingat luasnya jangkauan isi kandungan al-Quran yang harus diurai dengan ushlub (gaya bahasa) yang khas, maka sangatlah sulit untuk tidak mengatakan mustahil dalam menerjemahkan al-Quran secara harfiyah.
Kebenaran statement Muhammad Husayn al-Dzahabi di atas tentang kemustahilan menerjemahkan al-Quran secara harfiyah, dapat diterima sepanjang terjemahan yang dilakukan mutarjim bermaksud untuk menerangi isi kandungan al-Quran yang sangat luas dan dalam itu. Akan tetapi boleh jadi tidak tepat apabila sasaran yang dituju atau motivasi penerjemah hanya sebatas memperkenalkan makna kosa-kosa kata al-Quran secara utuh dan menyeluruh (holistik) dengan cara menerjemahkannya secara tahlili kata demi kata dari awal sampai akhir al-Quran.
Penerjemah demikian cukup banyak dilakukan para mutarjim, tidak terkecuali di tanah air indonesia. Diantara contohnya ialah, Tafsir al-Quran 30 juz Tarjamah Lazhiyah yang disusun dan diterbitkan penerbit Firma Sumatera dalam bahasa Arab Melayu, al-Quran, Terjemah Indonesia oleh Tim Penulis Direktorat Pembinaan Mental Angkatan Darat (DITBINTALAD), dan Terjemah al-Quran oleh Abdul Muhaimin As’ad dan Muhammad Anis Adnan.
Persyaratan antara terjemah secara harfiyah dan tafsiriyah dapat dilihat sebagai berikut:
Persyaratan terjemah tafsiriyah:
1.    Hendaknya terjemahan dapat memenuhi pengertian dan maksud dari bahasa aslinya dengan benar.
2.    Susunan bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan dapat dituangkan kembali dalam bahasa aslinya dengan benar meskipun tampa melihat kepada bahasa aslinya itu.
Persyaratan terjemah harfiyah:
1.    Kedua persyaratan tersebut diatas.
2.    Kosa kata-kosa kata (mufradat) dalam bahasa terjemahan harus sama dengan kosa kata aslinya.
3.    Ada persamaan antara dua bahasa (bahasa terjemahan dan bahasa aslinya) mengenai kata ganti dan kata penghubung yang menghubungkan kosa kata-kosa kata (mufradat) untuk menyusun kalimat.


C.   Syarat-Syarat Penerjemah
Diantara syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menerjemahkan al-Quran, antara lain:
1. Mutarjim al-Quran pada dasarnya harus memiliki dan memenuhi prasyarat yang dikenakan pada mussafir seperti memiliki I’tikat baik, niat yang tulus (shusn al-niyyah), menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan semisal ilmu kalam, fikih-ushul fikih, ilmu akhlak dan lain-lain. Persyaratn ini dimaksudkan agar terhindar dari kemungkinan salah atau keliru dalam menerjemahkan al-Quran.
2. Mutarjim al-Quran harus memiliki akidah Islamiyah yang kuat dan lurus (shihhat al-I’tiqad). Sebab, orang yang tidak memiliki akidah Islamiyah yang kuat, pada dasarnya, tidak diperbolehkan untuk menerjemah atau menafsirkan al-Quran karena tidak sejalan dengan tujuan utama penurunan al-Quran itu sendiri yakni sebagai  kitab hidayah (buku penunjuk). Jika penerjemahan al-Quran diserahkan kepada orang-orang yang tidak beriman, semisal orientalis, dan tidak berkepentingan dengan pengalaman al-Quran itu sendiri, maka serba sangat mungkin terjemahannya bercampur aduk dengan kesalahan dan keracuan.
3. Mutarjim harus menguasai dengan baik dua bahasa yang bersangkutan, yakni bahasa asal yang diterjemahkan dalam konteks ini bahasa al-Quran (Arab) dan bahasa yang akan diterjemah, dalam konteks ini bahasa Indonesia. Apabila hanya menguasai salah satu bahasa saja tidaklah mungkin dapat melahirkan terjemahan dengan sempurna.
4. Sebelum menerjemahkan al-Quran, penerjemah harus lebih dulu menuliskan ayat-ayat al-Quran yang hendak diterjemahkan, dan baru kemudian memulai menerjemahkan atau ditafsirkan. Selain dimaksud untuk memudahkan pembaca mengecek maknanya manakala terdapat keraguan kebenaranya di dalam penerjemahan al-Quran, juga terutama dalam rangka mempertahankan otentisitas teks al-Quran yang wahyu Allah itu.
5. Mutarjim harus menguasai gaya bahasa dan keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.

D.   Terjemahan Al-Quran Kedalam Bahasa Asing
Telah ditegaskan, bahwa al-Quran adalah wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan melalui perantaraan malaikat jibril dalam bentuk lafalz Arab. Mengingat al-Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab, bahkan lebih dari itu memiliki gaya bahasa (ushlub) yang khas qur’ani yang menyebabkannya berbeda dari bahasa manapun termasuk bahasa Arab itu sendiri, maka sudah dimengerti jika tidak setiap muslim mampu memahaminya secara langsung dari teks aslinya. Padahal, pada saat yang bersamaan, al-Quran sebagai kitab harus difahami dengan benar dan baik oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang min al-muslimin (dari golongan Islam).
Atas dasar itu, maka adalah suatu hal yang seyogyanya manakala dari generasi ke generasi dan dari tempat yang satu ketempat yang lain, kaum muslimim melalui para cerdik cendikiawanya selalu berusaha untuk menerjemahkan dan menafsirkan al-Quran kedalam bahasa-bahasa nasional/daerah mereka dalam rangka membantu ummat Islam yang tidak memiliki kemapuan untuk memahami kandungan al-Quran secara langsung. Sayangnya, keinginan dan antusiasme mereka itu tidak segera terpenuhi di masa-masa lampau.
Di antara faktornya selain karena persoalan-persoalan teknis yang memang rumit dan pembiayaan yang tidak mudah untuk ukuran waktu itu. Penerjemahan al-quran kedalam bahasa asing juga terhambat yang disebabkan alasan yuridis formal yang belum memungkinkan. Di masa lalu tidak sedikit ulama yang tegas-tegas mengharamkan dan sekaligus menolak gagasan untuk menterjemkan al-Quran.
Ironisnya, di tengah-tengah perbedaan dan perdebatan sengit antara sesama ulama Islam tentang boleh tidaknya menerjemahkan al-Quran kedalam bahasa asing, secara diam-diam namun pasti, orang-orang non muslim justru melakukan penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa mereka. Untuk pertama kalinya, pada sekitar abad 12 M (1145 / 1146 Masehi), al-quran diterjemah ke dalam bahasa Eropa dalam hal ini bahasa latin.[4])
Dari penerjemahan bahasa Latin itulah kemudian al-Quran diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa Eropa terkenal lainya terutama Prancis dan Inggris disamping Itali, Jerman dan belanda. Kemudian pada akhir-akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, terjemahan al-Quran kian waktu semakin berkembang. Bukan saja ke dalam bahasa-bahasa Eropa diatas, melainkan juga dalam bahasa- bahasa lain, termasuk di dalamnya terjemahan al-Quran kedalam bahasa Tionghoa untuk pertama kali diterjemahkan oleh Li Ti Cin pada tahun1927 yang notabene bukan muslim.
Berbarengan dengan itu kalangan ulama muslim tidak berpaku tangan begitu saja, akan tetapi justru berusaha sekuat tenaga untuk menerjemahkan kitab sucinya. Untuk pertama kali diterjemahkan oleh Syekh Sa’adi al-Syirazi pada tahun 1313 M ke dalam bahasa Parsi, dan orang kedua yang menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa asing oleh kalangan muslimin adalah Syeikh wali Allah al-Dahlawi (1703-1762), salah seorang alim terkenal yang berfikiran maju dari India.
Setelah itu terjemahan al-Quran dalam bahasa asing semakin merebak dan berkembang dengan sangat pesat. Selain penerjemahan kedalam bahasa Eropa, juga kedalam bahasa yang digunakan kaum muslimin seperti Persia, Urdu, turki, Thamil, Pastho, benggali dan beberapa bahasa lain dikepulauan Timur disamping juga kedalam beberapa bahasa Afrika.

E.   Terjemahan Al-Quran Kedalam Bahasa Indonesia
Orang pertama yang disebut-sebut sebagai penerjemah al-Quran ke dalam bahasa indonesia, dulu disebut bahasa Melayu, ialah Syekh ‘Abdul al-Ra’uf Ibn ‘Ali al-Fanshuri (1615-1693 M), seorang alim asal Aceh yang dikenal dengan julukan ‘Abd Ra’uf Singkel (al-Singkili). Penobatanya sebagai mutarjim pertama yang berhasil menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia (Melayu) berdasarkan pada karyanya setebal 612 halaman kertas folio berukuran 33,5 x 24,4 cm yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu.
Buku ini oleh penyusunnya tidak secara  khusus diniatkan untuk menerjemahkan al-Quran yang bersifat spesifik, akan tetapi merupakan terjemahan dari Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Imam al-Baydahwi (w. 685 atau 691 H), seorang musaffir terkenal abad  ke-7 H. Tetapi karena al-Fanshuri menerjemahkan pula secara sitematis dan metodologis semua ayat al-Quran disamping tafsirannya yang dibuat al-Baydhawi, maka sungguh memang pada tempatnya jika al-Singkili dianggap sebagai orang pertama yang menerjemahkan al-Quran dalam bahasa Indonesia.
Walaupun terjemahan  ‘Abd Ra’uf Singkel (al-Singkili) ditinjau dari sudut ilmu bahasa Indonesia modern masih belum sempurna, tapi pekerjaan beliau itu besar sekali jasanya sebagai perintis jalan. Sayangnya, usaha keras al-singkili tidak segera ditindak lanjuti oleh ulama-ulama Melayu waktu itu. Lebih kurang setelah 2 abad lahir karya ‘Abd Ra’uf al-Singkili, tidak munculpun karya serupa hingga di abad 20. Diantara penyebabnya selain faktor-faktor finansial dan teknis lagi-lagi karena alasan klasik yuridis formal yakni pendapat haramnya menerjemahkan al-Quran. Sebetulnya setelah lamanya penerjemah al-Quran diam setelah al-Singkili, orang penerjemah Indonesia lainya yang mencoba melakukan penerjemahan al-Quran, yaitu Prof. Mahmud Yunus pada tahun 1922. Beliau mener jemahkan al-Quran dan diterbitkan tiga juz dengan huruf Arab Melayu. Pada masa itu umumnya ulama mengharamkan penerjemahan al-Quran. Tetapi beliau tak menghiraukan bantahan-bantahan itu. Pada bulan Ramadhan 1352 H (Desember 1935) Mahmud Yunus memulai kembali menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia berikut tafsir dari ayat-ayatnya terpenting, yang dinamai Tafsir Quran Karim. Tafsir ini beliau selesaikan 30 juz pada tahun 1938.
Usaha Mahmud Yunus diatas tampak tidak mengalami jalan mulus karena menjelang kitab ini dicetak pada tahun 1950, konon diantara ulama Indonesia dari Yogyakarta ada yang mengirim surat kepada Menteri Agama RI (waktu itu, KH. A. Wahid Hasyim) supaya menyetop penerbitan karya Mahmud Yunus itu tentunya dengan alasan haram hukumnya.
Mahmud Yunus tetap berusaha keras untuk terus menerus menerbitkan karyanya. Tapi pertentangan tetap saja ada. Pada  tahun 1953 salah seorang ulama lain mengirimkan surat kepada presiden (saat itu Soekarno) dan kepada Mahmud Yunus sendiri. Dengan gigih beliau menampik semua dalil-dalil ulama yang mengharamkan penerjemahan al-Quran, hingga ia berhasil menerbitkan karyanya.
Usaha penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia tampak tidak hanya dilakukan oleh Mahmud Yunus sendiri, akan tetapi diprakarsai ulama-ulama lain baik yang bersifat perorangan maupun yang kelompok.

F.   Kitab-Kitab Hasil Terjemahan al-Quran Dalam Bahasa Indonesia
Adapun aneka argam kitab terjemahan dan Tafsir al-Quran di Indonesia antara lain:
a.    Al-Quran dan Tarjamahannya
Kitab ini disusun oleh suatu team yang tergabung dalam Lembaga Penterjemah Kitab Suci al-Quran yang personalnya terdiri dari 14 orang alim ulama, atas inisiatif Pemerintah Indonesia. Menteri Agama RI sebagaimana tertuang dalam surat keputusan No. 91/1962 dan No. 53/1963. Pertama kali diterbitkan oleh percetakan dan offset Jamunu di Jakarta, tahun 1965.
b.    Al-Furqan Fi Tafsiril Quran (tafsir al-Furqan)
Disusun oleh Ahmad hasan, seorang alim, guru Persatuan islam. Pertama kali diterbitkan secara lengkap oleh Firma Salim Nabhan di Surabaya pada Ramadhan 1375 H atau 26 april 1956.
c.     Terjemah al-Quran
Disusun oleh Prof. H. Mahmud Yunus.
d.    An-Nur, Tafsil al-Quranul Majid
Disusun oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
e.    Al-Quran dan Terjemahannya
Disusun oleh Tim departemen Agama RI, diterbitkan pada tahun 1982.
f.     Terjemah dan Tafsir al-Quran.
Disusun oleh Bakhtiar Surin, dan beberapa kitab lainya.
BAB 3
KESIMPULAN
Lafalz terjemah di dalam kepustakaan bahasa Arab, menunjukan arti dari empat makna berikut:
e.    Menyampaikan suatu kalam kepada seseorang yang belum mengetahuinya.
f.     Menafsirkan suatu kalam menurut bahasanya.
g.    Menafsirkan suatu bahasa dengan bahasa yang lainnya.
h.    Memindahkan suatu kalam dari suatu bahasa ke bahasa yang lainya.
Secara harifah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa, atau alih bahasa dari satu bahasa ke dalam bahasa lainnya. Terjemah, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah translation, dalam literature bahasa Arab dkenal dengan tarjamahan.
Adapun yang dimaksud dengan terjemah tafsiriyah yang lazim juga disebut dengan terjemah maknawiyah, ialah terjemahan yang dilakukan mutarjim dengan lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan tafsiriyah tidak terikat dengan susunan dan stuktur gaya bahasa maka dapatlah dikatakan bahwa jika terjema harfiyah bagitu identik dengan terjemah leterlek atau terjemah lurus dalam bahasa Indonesia, yakni terjemahan yang dilakukan dengan cara menyalin kata demi kata atau word for word tranlation, maka terjemah tafsiriyah sama persisi dengan istilah terjemahan bebas.


[1] At-Tibyan fi’ulumil Quran, hal.197-198
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 938
[3] Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, j.1396 H/1976 M, hal. 23
[4]Muhammad Amin Suma, Terjemah dan Tafsir al-Quran di indonesia, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya (Laporan Penelitian), Pusat Penelitian IAIN Jakarta, 1997, hal. 15.