Pengertian
Terjemah
Lafalz terjemah di
dalam kepustakaan bahasa Arab, menunjukan arti dari empat makna berikut:
a.
Menyampaikan
suatu kalam kepada seseorang yang belum mengetahuinya.
b.
Menafsirkan
suatu kalam menurut bahasanya.
c.
Menafsirkan
suatu bahasa dengan bahasa yang lainnya.
d.
Memindahkan
suatu kalam dari suatu bahasa ke bahasa yang lainya.[1])
Secara harifah,
terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa
ke bahasa lain. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa, atau alih bahasa
dari satu bahasa ke dalam bahasa lainnya.[2]) Terjemah, yang dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah translation, dalam literature bahasa Arab
dkenal dengan tarjamahan.
Secara etimologis,
terjemah berarti menerangkan atau menjelaskan. Menurut Muhammad Husayn
al-Dzahabi, salah seorang pakar ‘ulama al-Quran dari al-Azhar university,
Mesir, kata tarjamah lazim digunakan untuk dua macam pengertian. Pertama: mengalihkan atau memindahkan
suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa yang lain, tanpa menerangkan
makna dari bahasa asal yang diterjemahkan. Kedua:
menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung
didalamnya, dengan menggunakan bahasa yang lain.[3]) Dari situlah kata
terjemah dapat diformulasikan bahwa terjemah
pada dasarnya ialah menyalin atau mengalihbahasakan serangkaian pembicaraan
dari satu bahasa kebahasa yang lainnya, dengan maksud supaya inti pembicaraan
bahasa asal yang diterjemahkan bisa dipahami oleh orang-orang yang tidak mampu
memahami langsung bahasa asal yang diterjemah. Sebagai contoh, terjemahan
buku-buku dari bahasa asing, katakanlah buku bahasa Arab atau bahasa Inggris,
ke dalam bahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya, buku-buku dalam bahasa
Indonesia yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa Arab atau
pun juga ke dalam bahasa lainnya.
Selain yang telah
dikemukakan diatas, kata terjemah dalam bahasa Arab juga umum diartikan dengan
biografi (riwayat hidup) seseorang, semisal dalam ungkapan tarjamah al-Imam
al-Bukhari atau tarjamah Imam-Muslim yang masing-masing berarti biografi Imam
Bukhari dan Imam Muslim. Demikian dengan biografi-biografi tokoh lain, semisal
tarjamah Imam Abu Hanifah dan lain sebagainya.
Orang yang
menerjemahkan sesuatu, termasuk al-Quran dalam bahasa Indonesia disebut dengan
Penerjemah, juru terjemah atau juru bahasa, dalam bahasa Inggris disebut
transliter sedangkan dalam bahasa Arab sendiri disebut dengan mutarjim,
tarjuman atau turjuman diantaranya dalam ungkapan: “ Ibnu ;Abbas tarjuman
al-Quran, maksudnya Ibnu ‘Abbas juru bahasa al-Quran.
B. Macam-Macam
Terjemah
Sesuai dengan
pengertiannya, terjemah lazim dibedakan ke dalam dua macam, yaitu terjemah
secara harfiyah dan terjemah secara tafsiriyah.terjemah harfiyah yang juga umum
disebut dengan terjemah lafzhiyah ialah terjemah yang dilakukan dengan apa
adanya, tergantung dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
Muhammad Husayn
al-Dzahabi, yang namanya pernah disebut sebelum ini, membedakan terjemah secara
harfiyah ini ke dalam dua model yaitu: terjemah harfiyah bi al-mitsl, ialah terjemahan yang dilakukan dengan apa
adanya, terikat dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan dan
terjemah harfiyah bighair al-mitsl ialah
terjemahan yang pada dasarnya sama dengan terjemah harfiyah bi al-mitsl, hanya saja sedikit lebih longgar
keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.
Adapun yang dimaksud
dengan terjemah tafsiriyah yang lazim juga disebut dengan terjemah maknawiyah,
ialah terjemahan yang dilakukan mutarjim dengan lebih mengedepankan maksud atau
isi kandungan yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan
tafsiriyah tidak terikat dengan susunan dan stuktur gaya bahasa maka dapatlah
dikatakan bahwa jika terjema harfiyah bagitu identik dengan terjemah leterlek
atau terjemah lurus dalam bahasa Indonesia, yakni terjemahan yang dilakukan
dengan cara menyalin kata demi kata atau word
for word tranlation, maka terjemah tafsiriyah sama persisi dengan istilah
terjemahan bebas.
Dan patut diingatkan
bahwa terjemah tafsiriyah tetap berbeda dengan tafsir. Atau dalam kalimat lain,
terjemah tafsiriyah bukanlah tafsir, letak badanya menurut Muhammad Husayn
al-Dzahabi:
Pertama,
terletak pada kedua bahasa yang digunakan. Bahasa tafsir dimungkinkan sama dengan
bahasa asli, katakanlah al-Quran yang ditafsirkan, sedangkan terjemah
tafsiriyah pasti menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa asli yang
diterjemahkan.
Kedua,
dalam tafsir, pembaca kitab/buku yang ditafsirkan dimungkinkan melacak buku
(teks) aslinya manakala ada keraguan di dalamnya. Berbeda dengan terjemah
tafsiriyah yang tidak mudah untuk mengecek aslinya mana kala ada keraguan dan
kesalahan yang diterjemahkan oleh pembaca.
Berbeda lagi dengan
terjemah harfiyah yang terikat dengan struktur dan susunan bahasa asal yang
diterjemahkan, yang karenanya maka terjemah harfiyah/ lafziyah/ leterlek/ lurus
itu berlaku, maka terjemah tafsiriyah/ maknawiyah/ bebas terasa luwes atau elastis.
Kerigidan terjemah harfiyah dan keluwesan terjemah tafsiriyah akan semakin terasa
manakala digunakan untuk menerjemahkan al-Quran. Sebagi ilustrasinya perhatikan
Q.S. al-Israa’ ayat: 29, berikut,
wur ö@yèøgrB x8yt »'s!qè=øótB 4n<Î) y7É)ãZãã wur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# yãèø)tFsù $YBqè=tB #·qÝ¡øt¤C ÇËÒÈ
Jika ayat tersebut
diterjemahkan secara harfiyah, maka pengertiannya berarti Allah melarang
seseorang membelenggu atau mengikat tangannya di atas pundaknya. Padahal, yang
dimaksud oleh ayat ini adalah larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta
disamping melarang bersikap boros.
Seiring dengan
kekakuan terjemahan harfiyah, maka tidaklah sulit untuk menerima sikap musaffir
semisal, Muhammad Husayn al-Dzahabi, yang menyatakan mustahil bisa
menerjemahkan al-Quran secara harfiyah. Lebih-lebih jika dilakukan dengan
terjemahan harfiyah bi al-mitsl.
Alasanya, paling sedikit disebabkan oleh dua hal yaitu: pertama, tujuan
penurunan al-Quran ke muka bumi ini untuk dijadikan bukti kebenaran bagi
kenabian Muhammad saw. yang sekaligus sebagai mukjizatnya yang terbesar.
Sedangkan terjemahan al-Quran, lebih-lebih terjemahan harfiyah, tidaklah
mungkin dapat menerangkan seluruh isi kandungan al-Quran sebagaimana yang
dikehendaki oleh bahasa al-Quran itu sendiri. Dan kedua, al-Quran diturunkan sebagai kitab hidayah (buku penunjuk)
yang sarat dengan rambu-rambu petunjuk bagi ummat insani di dunia dan akhirat.
Mengingat luasnya jangkauan isi kandungan al-Quran yang harus diurai dengan ushlub (gaya bahasa) yang khas, maka
sangatlah sulit untuk tidak mengatakan mustahil dalam menerjemahkan al-Quran
secara harfiyah.
Kebenaran statement Muhammad
Husayn al-Dzahabi di atas tentang kemustahilan menerjemahkan al-Quran secara
harfiyah, dapat diterima sepanjang terjemahan yang dilakukan mutarjim bermaksud
untuk menerangi isi kandungan al-Quran yang sangat luas dan dalam itu. Akan
tetapi boleh jadi tidak tepat apabila sasaran yang dituju atau motivasi
penerjemah hanya sebatas memperkenalkan makna kosa-kosa kata al-Quran secara
utuh dan menyeluruh (holistik) dengan cara menerjemahkannya secara tahlili kata
demi kata dari awal sampai akhir al-Quran.
Penerjemah demikian
cukup banyak dilakukan para mutarjim, tidak terkecuali di tanah air indonesia.
Diantara contohnya ialah, Tafsir al-Quran 30 juz Tarjamah Lazhiyah yang disusun
dan diterbitkan penerbit Firma Sumatera dalam bahasa Arab Melayu, al-Quran, Terjemah
Indonesia oleh Tim Penulis Direktorat Pembinaan Mental Angkatan Darat
(DITBINTALAD), dan Terjemah al-Quran oleh Abdul Muhaimin As’ad dan Muhammad
Anis Adnan.
Persyaratan antara
terjemah secara harfiyah dan tafsiriyah dapat dilihat sebagai berikut:
Persyaratan terjemah
tafsiriyah:
1.
Hendaknya
terjemahan dapat memenuhi pengertian dan maksud dari bahasa aslinya dengan
benar.
2.
Susunan
bahasa terjemahan bersifat bebas, namun memungkinkan dapat dituangkan kembali
dalam bahasa aslinya dengan benar meskipun tampa melihat kepada bahasa aslinya
itu.
Persyaratan terjemah
harfiyah:
1.
Kedua
persyaratan tersebut diatas.
2.
Kosa
kata-kosa kata (mufradat) dalam
bahasa terjemahan harus sama dengan kosa kata aslinya.
3.
Ada persamaan
antara dua bahasa (bahasa terjemahan dan bahasa aslinya) mengenai kata ganti
dan kata penghubung yang menghubungkan kosa kata-kosa kata (mufradat) untuk menyusun kalimat.
C. Syarat-Syarat
Penerjemah
Diantara
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menerjemahkan
al-Quran, antara lain:
1. Mutarjim al-Quran
pada dasarnya harus memiliki dan memenuhi prasyarat yang dikenakan pada
mussafir seperti memiliki I’tikat baik, niat yang tulus (shusn al-niyyah),
menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan semisal ilmu kalam, fikih-ushul fikih, ilmu
akhlak dan lain-lain. Persyaratn ini dimaksudkan agar terhindar dari
kemungkinan salah atau keliru dalam menerjemahkan al-Quran.
2. Mutarjim al-Quran
harus memiliki akidah Islamiyah yang kuat dan lurus (shihhat al-I’tiqad). Sebab, orang yang tidak memiliki akidah
Islamiyah yang kuat, pada dasarnya, tidak diperbolehkan untuk menerjemah atau
menafsirkan al-Quran karena tidak sejalan dengan tujuan utama penurunan
al-Quran itu sendiri yakni sebagai kitab
hidayah (buku penunjuk). Jika penerjemahan al-Quran diserahkan kepada
orang-orang yang tidak beriman, semisal orientalis, dan tidak berkepentingan
dengan pengalaman al-Quran itu sendiri, maka serba sangat mungkin terjemahannya
bercampur aduk dengan kesalahan dan keracuan.
3. Mutarjim harus
menguasai dengan baik dua bahasa yang bersangkutan, yakni bahasa asal yang
diterjemahkan dalam konteks ini bahasa al-Quran (Arab) dan bahasa yang akan
diterjemah, dalam konteks ini bahasa Indonesia. Apabila hanya menguasai salah
satu bahasa saja tidaklah mungkin dapat melahirkan terjemahan dengan sempurna.
4. Sebelum
menerjemahkan al-Quran, penerjemah harus lebih dulu menuliskan ayat-ayat
al-Quran yang hendak diterjemahkan, dan baru kemudian memulai menerjemahkan
atau ditafsirkan. Selain dimaksud untuk memudahkan pembaca mengecek maknanya
manakala terdapat keraguan kebenaranya di dalam penerjemahan al-Quran, juga terutama
dalam rangka mempertahankan otentisitas teks al-Quran yang wahyu Allah itu.
5. Mutarjim harus
menguasai gaya bahasa dan keistimewaan dari kedua bahasa tersebut.
D. Terjemahan
Al-Quran Kedalam Bahasa Asing
Telah ditegaskan,
bahwa al-Quran adalah wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. dengan melalui perantaraan malaikat jibril dalam bentuk lafalz Arab.
Mengingat al-Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab, bahkan lebih dari itu
memiliki gaya bahasa (ushlub) yang
khas qur’ani yang menyebabkannya berbeda dari bahasa manapun termasuk bahasa
Arab itu sendiri, maka sudah dimengerti jika tidak setiap muslim mampu
memahaminya secara langsung dari teks aslinya. Padahal, pada saat yang
bersamaan, al-Quran sebagai kitab harus difahami dengan benar dan baik oleh
setiap orang yang mengaku dirinya sebagai orang min al-muslimin (dari golongan Islam).
Atas dasar itu, maka
adalah suatu hal yang seyogyanya manakala dari generasi ke generasi dan dari
tempat yang satu ketempat yang lain, kaum muslimim melalui para cerdik
cendikiawanya selalu berusaha untuk menerjemahkan dan menafsirkan al-Quran
kedalam bahasa-bahasa nasional/daerah mereka dalam rangka membantu ummat Islam
yang tidak memiliki kemapuan untuk memahami kandungan al-Quran secara langsung.
Sayangnya, keinginan dan antusiasme mereka itu tidak segera terpenuhi di
masa-masa lampau.
Di antara faktornya
selain karena persoalan-persoalan teknis yang memang rumit dan pembiayaan yang
tidak mudah untuk ukuran waktu itu. Penerjemahan al-quran kedalam bahasa asing
juga terhambat yang disebabkan alasan yuridis formal yang belum memungkinkan.
Di masa lalu tidak sedikit ulama yang tegas-tegas mengharamkan dan sekaligus
menolak gagasan untuk menterjemkan al-Quran.
Ironisnya, di
tengah-tengah perbedaan dan perdebatan sengit antara sesama ulama Islam tentang
boleh tidaknya menerjemahkan al-Quran kedalam bahasa asing, secara diam-diam
namun pasti, orang-orang non muslim justru melakukan penerjemahan al-Quran ke dalam
bahasa mereka. Untuk pertama kalinya, pada sekitar abad 12 M (1145 / 1146
Masehi), al-quran diterjemah ke dalam bahasa Eropa dalam hal ini bahasa latin.[4])
Dari penerjemahan
bahasa Latin itulah kemudian al-Quran diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa
Eropa terkenal lainya terutama Prancis dan Inggris disamping Itali, Jerman dan
belanda. Kemudian pada akhir-akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, terjemahan
al-Quran kian waktu semakin berkembang. Bukan saja ke dalam bahasa-bahasa Eropa
diatas, melainkan juga dalam bahasa- bahasa lain, termasuk di dalamnya
terjemahan al-Quran kedalam bahasa Tionghoa untuk pertama kali diterjemahkan
oleh Li Ti Cin pada tahun1927 yang notabene bukan muslim.
Berbarengan dengan
itu kalangan ulama muslim tidak berpaku tangan begitu saja, akan tetapi justru
berusaha sekuat tenaga untuk menerjemahkan kitab sucinya. Untuk pertama kali
diterjemahkan oleh Syekh Sa’adi al-Syirazi pada tahun 1313 M ke dalam bahasa
Parsi, dan orang kedua yang menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa asing oleh
kalangan muslimin adalah Syeikh wali Allah al-Dahlawi (1703-1762), salah
seorang alim terkenal yang berfikiran maju dari India.
Setelah itu
terjemahan al-Quran dalam bahasa asing semakin merebak dan berkembang dengan
sangat pesat. Selain penerjemahan kedalam bahasa Eropa, juga kedalam bahasa
yang digunakan kaum muslimin seperti Persia, Urdu, turki, Thamil, Pastho,
benggali dan beberapa bahasa lain dikepulauan Timur disamping juga kedalam
beberapa bahasa Afrika.
E. Terjemahan
Al-Quran Kedalam Bahasa Indonesia
Orang pertama yang
disebut-sebut sebagai penerjemah al-Quran ke dalam bahasa indonesia, dulu disebut
bahasa Melayu, ialah Syekh ‘Abdul al-Ra’uf Ibn ‘Ali al-Fanshuri (1615-1693 M),
seorang alim asal Aceh yang dikenal dengan julukan ‘Abd Ra’uf Singkel
(al-Singkili). Penobatanya sebagai mutarjim pertama yang berhasil menerjemahkan
al-Quran ke dalam bahasa Indonesia (Melayu) berdasarkan pada karyanya setebal
612 halaman kertas folio berukuran 33,5 x 24,4 cm yang ditulis dengan
menggunakan huruf Arab Melayu.
Buku ini oleh
penyusunnya tidak secara khusus
diniatkan untuk menerjemahkan al-Quran yang bersifat spesifik, akan tetapi
merupakan terjemahan dari Tafsir Anwar
al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan al-Imam al-Baydahwi (w. 685 atau 691
H), seorang musaffir terkenal abad ke-7
H. Tetapi karena al-Fanshuri menerjemahkan pula secara sitematis dan
metodologis semua ayat al-Quran disamping tafsirannya yang dibuat al-Baydhawi,
maka sungguh memang pada tempatnya jika al-Singkili dianggap sebagai orang
pertama yang menerjemahkan al-Quran dalam bahasa Indonesia.
Walaupun terjemahan ‘Abd Ra’uf Singkel (al-Singkili) ditinjau dari
sudut ilmu bahasa Indonesia modern masih belum sempurna, tapi pekerjaan beliau
itu besar sekali jasanya sebagai perintis jalan. Sayangnya, usaha keras
al-singkili tidak segera ditindak lanjuti oleh ulama-ulama Melayu waktu itu.
Lebih kurang setelah 2 abad lahir karya ‘Abd Ra’uf al-Singkili, tidak munculpun
karya serupa hingga di abad 20. Diantara penyebabnya selain faktor-faktor
finansial dan teknis lagi-lagi karena alasan klasik yuridis formal yakni
pendapat haramnya menerjemahkan al-Quran. Sebetulnya setelah lamanya penerjemah
al-Quran diam setelah al-Singkili, orang penerjemah Indonesia lainya yang
mencoba melakukan penerjemahan al-Quran, yaitu Prof. Mahmud Yunus pada tahun
1922. Beliau mener jemahkan al-Quran dan diterbitkan tiga juz dengan huruf Arab
Melayu. Pada masa itu umumnya ulama mengharamkan penerjemahan al-Quran. Tetapi
beliau tak menghiraukan bantahan-bantahan itu. Pada bulan Ramadhan 1352 H
(Desember 1935) Mahmud Yunus memulai kembali menerjemahkan al-Quran ke dalam
bahasa Indonesia berikut tafsir dari ayat-ayatnya terpenting, yang dinamai Tafsir Quran Karim. Tafsir ini beliau
selesaikan 30 juz pada tahun 1938.
Usaha Mahmud Yunus
diatas tampak tidak mengalami jalan mulus karena menjelang kitab ini dicetak
pada tahun 1950, konon diantara ulama Indonesia dari Yogyakarta ada yang
mengirim surat kepada Menteri Agama RI (waktu itu, KH. A. Wahid Hasyim) supaya
menyetop penerbitan karya Mahmud Yunus itu tentunya dengan alasan haram
hukumnya.
Mahmud Yunus tetap
berusaha keras untuk terus menerus menerbitkan karyanya. Tapi pertentangan
tetap saja ada. Pada tahun 1953 salah
seorang ulama lain mengirimkan surat kepada presiden (saat itu Soekarno) dan
kepada Mahmud Yunus sendiri. Dengan gigih beliau menampik semua dalil-dalil
ulama yang mengharamkan penerjemahan al-Quran, hingga ia berhasil menerbitkan
karyanya.
Usaha penerjemahan
al-Quran ke dalam bahasa Indonesia tampak tidak hanya dilakukan oleh Mahmud
Yunus sendiri, akan tetapi diprakarsai ulama-ulama lain baik yang bersifat
perorangan maupun yang kelompok.
F. Kitab-Kitab
Hasil Terjemahan al-Quran Dalam Bahasa Indonesia
Adapun aneka argam
kitab terjemahan dan Tafsir al-Quran di Indonesia antara lain:
a.
Al-Quran dan
Tarjamahannya
Kitab
ini disusun oleh suatu team yang tergabung dalam Lembaga Penterjemah Kitab Suci
al-Quran yang personalnya terdiri dari 14 orang alim ulama, atas inisiatif
Pemerintah Indonesia. Menteri Agama RI sebagaimana tertuang dalam surat
keputusan No. 91/1962 dan No. 53/1963. Pertama kali diterbitkan oleh percetakan
dan offset Jamunu di Jakarta, tahun 1965.
b.
Al-Furqan Fi
Tafsiril Quran (tafsir al-Furqan)
Disusun
oleh Ahmad hasan, seorang alim, guru Persatuan islam. Pertama kali diterbitkan
secara lengkap oleh Firma Salim Nabhan di Surabaya pada Ramadhan 1375 H atau 26
april 1956.
c.
Terjemah
al-Quran
Disusun
oleh Prof. H. Mahmud Yunus.
d.
An-Nur,
Tafsil al-Quranul Majid
Disusun
oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.
e.
Al-Quran dan
Terjemahannya
Disusun
oleh Tim departemen Agama RI, diterbitkan pada tahun 1982.
f.
Terjemah dan
Tafsir al-Quran.
Disusun
oleh Bakhtiar Surin, dan beberapa kitab lainya.
BAB 3
KESIMPULAN
Lafalz terjemah di
dalam kepustakaan bahasa Arab, menunjukan arti dari empat makna berikut:
e.
Menyampaikan
suatu kalam kepada seseorang yang belum mengetahuinya.
f.
Menafsirkan
suatu kalam menurut bahasanya.
g.
Menafsirkan
suatu bahasa dengan bahasa yang lainnya.
h.
Memindahkan
suatu kalam dari suatu bahasa ke bahasa yang lainya.
Secara
harifah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu
bahasa ke bahasa lain. Sedangkan terjemahan berarti salinan bahasa, atau alih
bahasa dari satu bahasa ke dalam bahasa lainnya. Terjemah, yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah translation, dalam literature bahasa Arab dkenal
dengan tarjamahan.
Adapun yang dimaksud
dengan terjemah tafsiriyah yang lazim juga disebut dengan terjemah maknawiyah,
ialah terjemahan yang dilakukan mutarjim dengan lebih mengedepankan maksud atau
isi kandungan yang terkandung dalam bahasa asal yang diterjemahkan. Terjemahan
tafsiriyah tidak terikat dengan susunan dan stuktur gaya bahasa maka dapatlah
dikatakan bahwa jika terjema harfiyah bagitu identik dengan terjemah leterlek
atau terjemah lurus dalam bahasa Indonesia, yakni terjemahan yang dilakukan
dengan cara menyalin kata demi kata atau word
for word tranlation, maka terjemah tafsiriyah sama persisi dengan istilah
terjemahan bebas.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 938
[3] Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, j.1396
H/1976 M, hal. 23
[4]Muhammad Amin Suma, Terjemah dan Tafsir al-Quran di indonesia,
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya (Laporan Penelitian), Pusat
Penelitian IAIN Jakarta, 1997, hal. 15.
No comments:
Post a Comment