BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Haid
Haid secara lughawi berarti sesuatu
yang mengalir. Sedangkan menurut hukum syara’ atau hukum fiqih artinya
adalah darah yang keluar mengalir dari rahim wanita secara alami, tanpa sebab
dan pada waktu tertentu saja. Haid adalah darah alami, tidak
muncul karena sebab penyakit, luka, keguguran, atau bersalin. Karena haid
adalah darah alami, maka texturnya juga berbeda. Sesuai kondisi, lingkungan,
temperatur udara tempat wanita tersebut hidup.
Secara umum, darah haid adalah
darah yang keluar dari rahim perempuan yang telah sampai umur (baligh) dengan
tidak ada penyebabnya, melainkan memang sudah menjadi kebiasaan perempuan.
Sekecil-kecilnya perempuan, mulai haid pada saat umur masih Sembilan tahun.
Biasanya pada perempuan yang umurnya suad 60 tahun ke atas darah haid itu sudah
berhenti dengan sendirinya. Lamanya haid paling sedikit sehari semalam, dan
paling lama 15 hari hari 15 malam. Kebiasaannya enam hari enam malam, atau
tujuh hari tujuh malam atau satu minggu.[1]
Dari segi
medis, haid adalah suatu keadaan di mana rahim
(uterus) permukaanya (endometrium) lepas disertai pendarahan(fertilisasi).
Pada permukaan
rahim yang penuh luka-luka, terjadi pelepasan permukaan yang selanjutnya akan diikuti
oleh pembaharuan permukaan rahim itu. Hal tersebut dapat terjadi antara lain
karena pengaruh hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kalenjer wanita. Dari
uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa haid adalah darah yang keluar
dari rahim pada semua perempuan yang sehat alat
reproduksinya. Bukan karena penyakit atau benturan kecelakaan. Haid juga bisa
dijadikan indikator kesuburan. Namun siklus bulanan tersebut kerap menjadi
masalah bagi perempuan karena hukum Islam melarang perempuan yang sedang haid melakukan
ibadah. Wanita yang sedang haid dilarang melakukan 6 kegiatan yaitu:
-
Thawaf
-
Sholat,
baik wajib maupun sunnah
-
Berdiam
diri didalam mesjid,
-
Memegang
dan membaca Al-Qur’an
-
Berpuasa
-
Bersenggama (Melakukan hubungan badan)
B.
Pendapat Ulama Tentang Hukum
Wanita Haid Masuk Ke Dalam Mesjid
Ulama
berselisih pendapat tentang hukum wanita haid yang masuk masjid. Ada yang
memperbolehkan dan ada yang melarang. Pendapat yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang
memperbolehkan wanita haid masuk masjid. Di antara dalilnya adalah:
Dalil pertama: Disebutkan dalam
hadis riwayat Bukhari, bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang wanita berkulit hitam yang
tinggal di masjid. Sementara, tidak terdapat keterangan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita ini untuk
meninggalkan masjid ketika masa haidnya tiba.
Dalil kedua: Ketika melaksanakan haji, Aisyah
mengalami haid. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan beliau untuk melakukan
kegiatan apa pun, sebagaimana yang dilakukan jamaah haji, selain tawaf di Ka’bah. Sisi pengambilan
dalil: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melarang Aisyah untuk tawaf di
Ka’bah dan tidak melarang Aisyah untuk masuk masjid. Riwayat ini disebutkan
dalam Shahih
Bukhari.
Dalil ketiga: Disebutkan dalam Sunan Sa’id bin Manshur,
dengan sanad yang sahih, bahwa seorang tabi’in, Atha bin Yasar, berkata, “Saya
melihat beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk-duduk di masjid, sementara ada
di antara mereka yang junub. Namun, sebelumnya, mereka berwudhu.” Sisi
pemahaman dalil: Ulama meng-qiyas-kan (qiyas:analogi) bahwa status junub sama dengan status
haid; sama-sama hadats besar.
Dalil
keempat:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و
عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ
حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ
فِى يَدِكِ
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya, “Ambilkan sajadah untukku di masjid!”
Aisyah mengatakan, “Saya sedang haid.”
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya, haid itu bukan karena mu .” (HR.
Muslim). Sebagian ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil tentang bolehnya
wanita haid masuk masjid.
Dalil kelima: Tidak terdapat
larangan tegas agar wanita haid tidak masuk masjid. Dalil yang dijadikan alasan
untuk melarang wanita masuk masjid tidak lepas dari dua keadaan:
-
Tidak tegas
menunjukkan larangan tersebut.
-
Sanadnya lemah,
sehingga tidak bisa dijadikan dalil.
C. Hukum Wanita
Haid Mendiami Mesjid Serta Melakukan Kegiatan Ibadah
1. Hukum
wanita haid berdiam di masjid
a. Mengharamkan
Seorang wanita haid
diharamkan menetap di dalam masjid. Adapun berjalan melewati masjid tanpa
berdiam diri, maka hal itu diperbolehkan. Dikarenakan ia dilarang berdiam diri
di masjid, maka ia pun tidak diperkenankan melakukan I’tikaf di dalamnya.
Allah swt. berfirman :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? wur $·7ãYã_ wÎ) ÌÎ/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menghampiri tempat
shalat, ketika kamu sedang mabuk, sehingga kamu mengetahui apa yang kamu
katakan dan jangan pula kamu dekati
tempat (shalat) ketika kamu sedang junub, kecuali melalui tempat sembahyang
saja, sehingga kamu mandi lebih dahulu…” (Q.S
An-Nisa’: 43)
Sebagian ulama melarang
seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil:
جُنُبٍ لاوَ
لحَائِضٍ الْمَسْجِدُ لاَأُحِلُّ
“Aku tidak
menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.” [2]
Akan tetapi hadits di
atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki
beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga
tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -rahimahullaah-
telah menjelaskan hal tersebut dalam ‘Dho’if Sunan Abi Daud’ no.
32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu al Qohthan, dan Asy-Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an
hadits ini dalam Irwa’ul Gholil’ I/201-212 no. 193.
b. Membolehkan
Berikut ini sebagian
dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid duduk di
masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192):
Adanya seorang wanita yang tinggal
di dalam masjid pada zaman Rasulullah SAW. Namun tidak ada dalil yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkannya untuk meninggalkan masjid
ketika ia mengalami haid.
Imam Muslim meriwayatkan dari ummul
Mu’minin ‘Aisyah radhiallahu ‘anhaa,beliau berkata: “Rasulullah SAW
menyuruhku agar memberikan sajadah kepadanya ke dalam masjid. Aku berkata:
”Saya sedang haidh.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Ulurkan saja sajadah itu,
karena haidh tidak terletak di tanganmu.”
Berkaitan dengan hal
ini, masuk ke dalam masjid diperbolehkan selama ia tidak takut mengotori
masjid, tetapi apabila ia takut mengotori masjid maka masuk ke dalam masjid
ketika itu haram.
2.
Hukum wanita haid memegang mushaf Al-Qur’an
a. Mengharamkan:
Orang yang berhadas
besar atau kecil haram menyentuh mushhaf Al-Qur’an, kecuali melembari dengan
sesuatu. Dalil mengenai keistimewaan ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam
al-Muwaththa’, bahwa Rosulullah SAW menulis dalam kitab (Al-Qur’an) untuk Amr
bin Hazan: “Hendaklah tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”
Umar bin Khaththab pada
waktu belum masuk islam dilarang oleh saudara perempuannya, katanya:
”Sesungguhnya kamu kotor. Tidak boleh menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali
orang-orang yang suci.” Ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni.
Sesuai dengan firman
Allah:
w ÿ¼çm¡yJt wÎ) tbrã£gsÜßJø9$# ÇÐÒÈ
“Tidak boleh menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang
disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 79)
Imam Ibnu Katsir dalam
tafsirnya berpendapat bahwa suci yang dimaksud adalah suci dari hadats kecil
dan hadats besar. Sedangkan hadatsnya wanita haidh lebih besar ketimbang
hadats besar (junub).
Menyentuh, membawa,
atau mengangkat mushaf Al-Qur’an kecuali jika keadaan terpaksa untuk menjaganya
agar jangan rusak[3].
umpamanya menjaganya agar jangan terbakar atau tenggelam, maka ketika dalam
keadaan demikian mengambil Al-Qur’an menjadi wajib, untuk menjaga
kehormatannya.
b. Membolehkan:
Telah terjadi
perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut
berdalil dengan ayat:
w ÿ¼çm¡yJt wÎ) tbrã£gsÜßJø9$# ÇÐÒÈ
“Tidak menyentuhnya
kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS.
al-Waqi’ah: 79)
يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al
Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu
tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah
bersuci dari hadats besar atau kecil.
Ulama yang membolehkan
wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:
¼çm¯RÎ) ×b#uäöà)s9 ×LqÌx. ÇÐÐÈ Îû 5=»tGÏ. 5bqãZõ3¨B ÇÐÑÈ w ÿ¼çm¡yJt wÎ) tbrã£gsÜßJø9$# ÇÐÒÈ ×@Í\s? `ÏiB Éb>§ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÑÉÈ
“Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab
yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan. Diturunkan dari Rabbil 'alamiin.” (Q.S al-Waqi’ah: 77-80)
Kata ganti ﻪ (-nya
pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻥﻮﻨﻜﻣ ﺏﺎﺘﻛ (Kitab yang
terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu)
kitab yang ada di langit”.
Adh Dhahhak berkata, “Mereka
(orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an
kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah
memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu
melakukannya.”[4]
(Tafsir Ath ThobariXI/659).
3.
Hukum wanita haid membaca Al-Qur’an
a. Mengharamkan:
Menurut imam Nawawi,
ijma’ muslimin memperbolehkan orang junub dan haid membaca tasbih, tahlil
(kalimat thayyibah), tahmid, takbir, dan shalawat Nabi dan selainnya yang
termasuk dzikir. Diperbolehkan pula mengucapkan kalimat Al-Qur’an dengan maksud
tidak membacanya, namun berdzikir atau berdoa.contoh, orang yang junub atau
haid berdoa naik kendaraan.
Imam Ad-Darimi
meriwayatkan dari Ibrahim An Nukha’I beliau berkata: “Ada empat orang yang
dilarang membaca Al-Quran; orang yang berada di kamar mandi, di WC,
wanita haidh dan orang junub.” Hanya beberapa ayat saja (untuk berdzikir)
diperbolehkan bagi wanita haidh dan orang junub.
Pengarang kitab ‘Aunul
Ma’buud berpendapat bahwa hedits tersebut menunjukkan bahwa hanya seorang yang
berhadats kecil saja yang boleh membaca Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan makna
hadits yang berbunyi: Rasulullah SAW membacakan Al-Qur’an kepada kami pada
setiap saat. Pendapat ini sudah menjadi kesepakatan yang tidak terdapat
perselisihan didalamnya. Hadits tersebut juga menunjukkan larangan membaca
Al-Qur’an untuk orang yang berhadats besar. Dan wanita haidh termasuk dalam
kategori yang lebih ditekankan pengharamannya, karena hadatsnya lebih besar
daripada junub. Dan Hadits-hadits mengenai pengharaman membaca Al-Qur’an
untuk orang yang junub telah tertulis di awal, sedangkan wanita haidh dalam
hadits-hadits tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, termasuk
dalam kategori yang pengharamannya lebih ditekankan. Hadits-hadits tersebut
menjadi kuat karena adanya penggabungan antara beberapa hadits dengan yang
lain. Karena disana, ada beberapa hadits yang tidak terlalu dha’if dan bisa
dijadikan pegangan. Al-Khaththabi berkata: “Dalam fiqh diterangkan bahwa
seorang yang junub dilarang membaca Al-Qur’an, begitu juga dengan wanita haidh,
karena hadatsnya lebih besar ketimbang hadats lelaki yang junub.
b. Membolehkan tapi terbatas:
Al Hafidz bin Hajar
mengatakan dalam kitab Fathul Baari bahwa Ibnu Mundzir menambah pendapat
tersebut dengan redaksi, “Bahwa Ibnu ‘Abbas membaca wiridannya (dari ayat
Al-Qur’an) padahal ia junub.” Di antara para ulama’, terdapat kalangan
yang memandang kebolehan tersebut terbatas pada bacaan-bacaan yang pendek saja,
seperti satu atau dua ayat. Ad-Damiri meriwayatkan dari sufyan Ats-Tsauri dari
Ibrahim An-Nakha’I dan Said bin Jubair bahwa keduanya berkata: “orang yang
sedang junub dan haidh tidak boleh membaca ayat secara sempurna, tetapi cukup
membaca beberapa ayat saja.” Yakni sebagian ayat saja do’a-do’a yang terdapat
dalam Al-Qur’an. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ad-Damiri dari Ibrahim
dan Sa’id, mereka berkata: “Orang yang sedang haidh dan junub hanya boleh
membaca ayat-ayat awal saja, tetapi jangan membaca sampai ayat tersebut selesai
sempurna.”
c. Membolehkan:
Imam Malik berpendapat
mengenai lelaki junub; bahwasannya ia dilarang membaca Al-Qur’an dan
semacamnya. Dan ada yang berkata bahwasannya Imam Malik membolehkan wanita
haidh membaca Al-Qur’an, sedangkan untuk lelaki yang junub dilarang. Alasannya,
karena wanita haidh bila tidak membaca Al-Qur’an bisa berakibat lupa, sebab
hari-hari haidh amatlah panjang sedangkan masa junub tidaklah lama. Imam Malik
meriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab dan ‘Ikrimah; sesungguhnya mereka berdua
membolehkan orang yang membaca Al-Qur’an, walaupun kebanyakan ulama’
mengharamkannya.
Sesungguhnya
mengenai pengharaman membaca Al-Qur’an untuk wanita haidh dan yang
berhadats besar lainnya seperti junub, bukan merupakan kesepakatan diantara
ulama, tetapi masih menjadi perbedaan pendapat diantara mereka.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Wanita yang sedang haid
diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena tidak ada dalil yang jelas
dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga
diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.
Wanita yang sedang haid
diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan
shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’la.
Wanita yang sedang haid
diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang
jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang
melarang hal tersebut. Menurut Ibnu ‘Abbas sedikitpun tidak
mempermasalahkan (yakni tidak melarang) tentang bacaan Al-Qur’an bagi
orang yang sedang junub.
DAFTAR
PUSTAKA
’Abdurrahman Muhammad ‘Abdullah Ar-Rifa’I, Tuntunan
Haidh, Nifas & Darah Penyakit Tinjauan Fiqih & Medis, Mustaqiim. 1999.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap),
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011.
No comments:
Post a Comment