Friday 4 September 2015

Hukum Wanita Haid Mendiami Mesjid Serta Melakukan Kegiatan Ibadah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Haid
Haid secara lughawi berarti sesuatu yang mengalir. Sedangkan menurut hukum syara’ atau hukum  fiqih artinya adalah darah yang keluar mengalir dari rahim wanita secara alami, tanpa sebab dan  pada  waktu tertentu  saja. Haid adalah darah alami, tidak muncul karena sebab penyakit, luka, keguguran, atau bersalin. Karena haid adalah darah alami, maka texturnya  juga berbeda. Sesuai kondisi, lingkungan, temperatur udara tempat wanita tersebut hidup.
Secara umum, darah haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan yang telah sampai umur (baligh) dengan tidak ada penyebabnya, melainkan memang sudah menjadi kebiasaan perempuan. Sekecil-kecilnya perempuan, mulai haid pada saat umur masih Sembilan tahun. Biasanya pada perempuan yang umurnya suad 60 tahun ke atas darah haid itu sudah berhenti dengan sendirinya. Lamanya haid paling sedikit sehari semalam, dan paling lama 15 hari hari 15 malam. Kebiasaannya enam hari enam malam, atau tujuh hari tujuh malam atau satu minggu.[1]
Dari segi medis, haid adalah suatu  keadaan di mana rahim (uterus) permukaanya (endometrium) lepas disertai pendarahan(fertilisasi).
Pada permukaan  rahim yang penuh luka-luka, terjadi pelepasan permukaan yang selanjutnya akan diikuti oleh pembaharuan permukaan rahim itu. Hal tersebut dapat terjadi antara lain karena pengaruh hormon-hormon yang dikeluarkan oleh kalenjer wanita. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa haid adalah darah yang keluar dari rahim pada semua perempuan yang sehat alat reproduksinya. Bukan karena penyakit atau benturan kecelakaan. Haid juga bisa dijadikan indikator kesuburan. Namun siklus bulanan tersebut kerap menjadi masalah bagi perempuan karena hukum Islam melarang perempuan yang sedang haid melakukan ibadah. Wanita yang sedang haid dilarang melakukan 6 kegiatan yaitu:
-        Thawaf
-        Sholat, baik wajib maupun sunnah
-        Berdiam diri didalam mesjid,
-        Memegang dan membaca Al-Qur’an
-        Berpuasa
-        Bersenggama (Melakukan hubungan badan)

B.     Pendapat Ulama Tentang Hukum Wanita Haid Masuk Ke Dalam Mesjid
            Ulama berselisih pendapat tentang hukum wanita haid yang masuk masjid. Ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang. Pendapat yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang memperbolehkan wanita haid masuk masjid. Di antara dalilnya adalah:
Dalil pertama: Disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang wanita berkulit hitam yang tinggal di masjid. Sementara, tidak terdapat keterangan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita ini untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya tiba.
            Dalil kedua: Ketika melaksanakan haji, Aisyah mengalami haid. Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan beliau untuk melakukan kegiatan apa pun, sebagaimana yang dilakukan jamaah haji, selain tawaf di Ka’bah. Sisi pengambilan dalil: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melarang Aisyah untuk tawaf di Ka’bah dan tidak melarang Aisyah untuk masuk masjid. Riwayat ini disebutkan dalam Shahih Bukhari.
Dalil ketiga: Disebutkan dalam Sunan Sa’id bin Manshur, dengan sanad yang sahih, bahwa seorang tabi’in, Atha bin Yasar, berkata, “Saya melihat beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk-duduk di masjid, sementara ada di antara mereka yang junub. Namun, sebelumnya, mereka berwudhu.” Sisi pemahaman dalil: Ulama meng-qiyas-kan (qiyas:analogi) bahwa status junub sama dengan status haid; sama-sama hadats besar.
Dalil keempat:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله و عليه و سلم: نَاوِلِيْنِى الْجُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ
Diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya, “Ambilkan sajadah untukku di masjid!” Aisyah mengatakan, “Saya sedang haid.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, haid itu bukan karena mu .” (HR. Muslim). Sebagian ulama menjadikan hadis ini sebagai dalil tentang bolehnya wanita haid masuk masjid.
Dalil kelima: Tidak terdapat larangan tegas agar wanita haid tidak masuk masjid. Dalil yang dijadikan alasan untuk melarang wanita masuk masjid tidak lepas dari dua keadaan:
-        Tidak tegas menunjukkan larangan tersebut.
-        Sanadnya lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dalil.

C.    Hukum Wanita Haid Mendiami Mesjid Serta Melakukan Kegiatan Ibadah
1.      Hukum wanita haid berdiam di masjid
a.       Mengharamkan
Seorang wanita haid diharamkan menetap di dalam masjid. Adapun berjalan melewati masjid tanpa berdiam diri, maka hal itu diperbolehkan. Dikarenakan ia dilarang berdiam diri di masjid, maka ia pun tidak diperkenankan melakukan I’tikaf di dalamnya.
Allah swt. berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menghampiri tempat shalat, ketika kamu sedang mabuk, sehingga kamu mengetahui apa yang kamu katakan dan jangan  pula kamu dekati tempat (shalat) ketika kamu sedang junub, kecuali melalui tempat sembahyang saja, sehingga kamu mandi lebih dahulu…” (Q.S An-Nisa’: 43)
Sebagian ulama melarang seorang wanita masuk dan duduk di dalam masjid dengan dalil:
جُنُبٍ لاوَ لحَائِضٍ الْمَسْجِدُ لاَأُحِلُّ
 “Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh dan orang yang junub.” [2]
Akan tetapi hadits di atas merupakan hadits dho’if (lemah) meski memiliki beberapa syawahid (penguat) namun sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -rahimahullaah- telah menjelaskan hal tersebut dalam ‘Dho’if Sunan Abi Daud’ no. 32 serta membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu al Qohthan, dan Asy-Syaukani. Beliau juga menyebutkan ke-dho’if-an hadits ini dalam Irwa’ul Gholil’ I/201-212 no. 193.
b.      Membolehkan
Berikut ini sebagian dalil yang digunakan oleh ulama yang membolehkan seorang wanita haid duduk di masjid (Jami’ Ahkamin Nisa’ I/191-192):
Adanya seorang wanita yang tinggal di dalam masjid pada zaman Rasulullah SAW. Namun tidak ada dalil yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkannya untuk meninggalkan masjid ketika ia mengalami haid.
Imam Muslim meriwayatkan dari ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiallahu ‘anhaa,beliau berkata: “Rasulullah SAW menyuruhku agar memberikan sajadah kepadanya ke dalam masjid. Aku berkata: ”Saya sedang haidh.” Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Ulurkan saja sajadah itu, karena haidh tidak terletak di tanganmu.”
Berkaitan dengan hal ini, masuk ke dalam masjid diperbolehkan selama ia tidak takut mengotori masjid, tetapi apabila ia takut mengotori masjid maka masuk ke dalam masjid ketika itu haram.
2.      Hukum wanita haid memegang mushaf Al-Qur’an
a.       Mengharamkan:
Orang yang berhadas besar atau kecil haram menyentuh mushhaf Al-Qur’an, kecuali melembari dengan sesuatu. Dalil mengenai keistimewaan ini diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’, bahwa Rosulullah SAW menulis dalam kitab (Al-Qur’an) untuk Amr bin Hazan: “Hendaklah tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.”
Umar bin Khaththab pada waktu belum masuk islam dilarang oleh saudara perempuannya, katanya: ”Sesungguhnya kamu kotor. Tidak boleh menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali orang-orang yang suci.” Ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni.
Sesuai dengan firman Allah:
žw ÿ¼çm¡yJtƒ žwÎ) tbr㍣gsÜßJø9$# ÇÐÒÈ
“Tidak  boleh menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 79)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpendapat bahwa suci yang dimaksud adalah suci dari hadats kecil dan hadats besar. Sedangkan hadatsnya wanita haidh lebih besar  ketimbang hadats besar (junub).
Menyentuh, membawa, atau mengangkat mushaf Al-Qur’an kecuali jika keadaan terpaksa untuk menjaganya agar jangan rusak[3]. umpamanya menjaganya agar jangan terbakar atau tenggelam, maka ketika dalam keadaan demikian mengambil Al-Qur’an menjadi wajib, untuk menjaga kehormatannya.
b.      Membolehkan:
Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Ulama yang melarang hal tersebut berdalil dengan ayat:
žw ÿ¼çm¡yJtƒ žwÎ) tbr㍣gsÜßJø9$# ÇÐÒÈ
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. al-Waqi’ah: 79)
يَمُسُّ maksudnya adalah menyentuh mushhaf al Qur’an. المُطَهَّرُونَ maksudnya adalah orang-orang yang bersuci. Oleh karena itu tidak boleh menyentuh mushaf al Qur’an kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil.
Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushhaf Al Qur’an memberikan penjelasan sebagai berikut:
¼çm¯RÎ) ×b#uäöà)s9 ×Lq̍x. ÇÐÐÈ Îû 5=»tGÏ. 5bqãZõ3¨B ÇÐÑÈ žw ÿ¼çm¡yJtƒ žwÎ) tbr㍣gsÜßJø9$# ÇÐÒÈ ×@ƒÍ\s? `ÏiB Éb>§ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÑÉÈ
Sesungguhnya Al-Quran Ini adalah bacaan yang sangat mulia, Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil 'alamiin.” (Q.S al-Waqi’ah: 77-80)
Kata ganti ﻪ (-nya pada “Tidak menyentuhnya”) kembali kepada ﻥﻮﻨﻜﻣ ﺏﺎﺘﻛ (Kitab yang terpelihara). Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.
Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.”[4] (Tafsir Ath ThobariXI/659). 
3.      Hukum wanita haid membaca Al-Qur’an
a.       Mengharamkan:
Menurut imam Nawawi, ijma’ muslimin memperbolehkan orang junub dan haid membaca tasbih, tahlil (kalimat thayyibah), tahmid, takbir, dan shalawat Nabi dan selainnya yang termasuk dzikir. Diperbolehkan pula mengucapkan kalimat Al-Qur’an dengan maksud tidak membacanya, namun berdzikir atau berdoa.contoh, orang yang junub atau haid berdoa naik kendaraan.
Imam Ad-Darimi meriwayatkan dari Ibrahim An Nukha’I beliau berkata: “Ada empat orang yang dilarang membaca  Al-Quran; orang yang berada di kamar mandi, di WC, wanita haidh dan orang junub.” Hanya beberapa ayat saja (untuk berdzikir) diperbolehkan bagi wanita haidh dan orang junub.        
Pengarang kitab ‘Aunul Ma’buud berpendapat bahwa hedits tersebut menunjukkan bahwa hanya seorang yang berhadats kecil saja yang boleh membaca Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan makna hadits yang berbunyi: Rasulullah SAW membacakan Al-Qur’an kepada kami pada setiap saat. Pendapat ini sudah menjadi kesepakatan yang tidak terdapat perselisihan didalamnya. Hadits tersebut juga menunjukkan larangan membaca Al-Qur’an untuk orang yang berhadats besar. Dan wanita haidh termasuk dalam kategori yang lebih ditekankan pengharamannya, karena hadatsnya lebih besar daripada junub. Dan Hadits-hadits mengenai  pengharaman membaca Al-Qur’an untuk orang yang junub telah tertulis di awal, sedangkan wanita haidh dalam hadits-hadits tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, termasuk dalam kategori yang pengharamannya lebih ditekankan. Hadits-hadits tersebut menjadi kuat karena adanya penggabungan antara beberapa hadits dengan yang lain. Karena disana, ada beberapa hadits yang tidak terlalu dha’if dan bisa dijadikan pegangan. Al-Khaththabi berkata: “Dalam fiqh diterangkan bahwa seorang yang junub dilarang membaca Al-Qur’an, begitu juga dengan wanita haidh, karena hadatsnya lebih besar ketimbang hadats lelaki yang junub.
b.      Membolehkan tapi terbatas:
Al Hafidz bin Hajar mengatakan dalam kitab Fathul Baari bahwa Ibnu Mundzir menambah pendapat tersebut dengan redaksi, “Bahwa Ibnu ‘Abbas membaca  wiridannya (dari ayat Al-Qur’an) padahal ia junub.” Di antara para ulama’, terdapat kalangan yang memandang kebolehan tersebut terbatas pada bacaan-bacaan yang pendek saja, seperti satu atau dua ayat. Ad-Damiri meriwayatkan dari sufyan Ats-Tsauri dari Ibrahim An-Nakha’I dan Said bin Jubair bahwa keduanya berkata: “orang yang sedang junub dan haidh tidak boleh membaca ayat secara sempurna, tetapi cukup membaca beberapa ayat saja.” Yakni sebagian ayat saja do’a-do’a yang terdapat dalam Al-Qur’an. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ad-Damiri dari Ibrahim dan Sa’id, mereka berkata: “Orang yang sedang haidh dan junub hanya boleh membaca ayat-ayat awal saja, tetapi jangan membaca sampai ayat tersebut selesai sempurna.”
c.       Membolehkan:
Imam Malik berpendapat mengenai lelaki junub; bahwasannya ia dilarang membaca Al-Qur’an dan semacamnya. Dan ada yang berkata bahwasannya Imam Malik membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur’an, sedangkan untuk lelaki yang junub dilarang. Alasannya, karena wanita haidh bila tidak membaca Al-Qur’an bisa berakibat lupa, sebab hari-hari haidh amatlah panjang sedangkan masa junub tidaklah lama. Imam Malik meriwayatkan dari Sa’id bin Musayyab dan ‘Ikrimah; sesungguhnya mereka berdua membolehkan orang yang membaca  Al-Qur’an, walaupun kebanyakan ulama’ mengharamkannya.
Sesungguhnya mengenai  pengharaman membaca Al-Qur’an untuk wanita haidh dan yang berhadats besar lainnya seperti junub, bukan merupakan kesepakatan diantara ulama, tetapi masih menjadi perbedaan pendapat diantara mereka. 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Wanita yang sedang haid diperbolehkan masuk dan duduk di dalam masjid karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Namun, hendaknya wanita tersebut menjaga diri dengan baik sehingga darahnya tidak mengotori masjid.
Wanita yang sedang haid diperbolehkan menyentuh mushhaf Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih yang melarang hal tersebut. Wallaahu Ta’ala A’la.
Wanita yang sedang haid diperbolehkan untuk berdzikir dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang jelas dan shohih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut. Menurut Ibnu ‘Abbas sedikitpun tidak mempermasalahkan  (yakni tidak melarang) tentang bacaan Al-Qur’an bagi orang yang sedang junub.


DAFTAR PUSTAKA
’Abdurrahman Muhammad ‘Abdullah Ar-Rifa’I,  Tuntunan Haidh, Nifas & Darah Penyakit Tinjauan Fiqih & Medis, Mustaqiim. 1999.
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011.



[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011, h…44.
[2] Diriwayatkan oleh Abu Daud no. 232, al Baihaqi II/442-443
[3] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Jakarta, 1954. h... 59-61
[4] Tafsir Ath Thobari XI/659

No comments:

Post a Comment